GLOBAL, GAZA – Di tengah gencatan senjata yang berlangsung, warga Palestina di Jalur Gaza mulai mencoba bangkit dan kembali menjalani kehidupan mereka. Meskipun lingkungan sekitar masih dipenuhi reruntuhan, mereka berusaha bertahan dan beradaptasi dengan kondisi yang ada.
Di Kamp Pengungsi Jabalia, seorang anak laki-laki menjajakan kopi panas sambil berteriak, “Kopi, kopi!” seolah-olah ingin menghidupkan kembali suasana kota yang telah lama dihantui oleh konflik. Sementara itu, di sudut lain Gaza, seorang tukang cukur tetap membuka usahanya di bangunan yang setengah hancur, dan beberapa warga bahkan mendirikan warung kebab di antara puing-puing.
Pemandangan meja-meja berisi sayuran segar di tengah Gaza utara yang masih berantakan menjadi simbol ketahanan dan semangat warga untuk bertahan hidup meski dalam keterbatasan.

Perjuangan Hidup di Antara Reruntuhan
Bagi Abu Samir, reruntuhan ini bukan sekadar tumpukan batu, melainkan kenangan puluhan tahun bersama keluarganya. “Saya punya banyak selimut di bawah puing-puing itu,” katanya, mengenang rumahnya yang telah ia tinggali selama 50 tahun. “Saya punya sofa, kasur terbaik, kasur tebal, tetapi saya tidak mandi selama 40 hari,” ujarnya, dikutip dari Sky News.
Dengan keterbatasan yang ada, warga Gaza harus kreatif untuk bertahan. Mereka membakar kayu di antara puing-puing untuk memasak dan menghangatkan diri dari cuaca yang semakin dingin. Di beberapa titik, alat berat dikerahkan untuk membersihkan jalanan yang kini berlumpur akibat hujan, berusaha membuka kembali akses bagi warga yang masih bertahan.
Ola Nasser (57), salah seorang warga, memilih berlindung di bawah sisa bangunan beton yang masih berdiri. Baginya, dinding beton lebih aman dibandingkan sekadar terpal, terutama saat ia menyalakan api untuk menghangatkan diri. “Kami tidak akan meninggalkan Gaza, kecuali dalam keadaan ditandu atau sudah meninggal,” tegasnya. “Ini tanah kami, tanah leluhur kami, dan anak-anak kami akan tetap tinggal di sini, suka atau tidak.”
Bantuan Masuk, Tetapi Masih Jauh dari Cukup
Di tengah upaya pemulihan, Israel mengizinkan sekitar 600 truk bantuan masuk setiap hari melalui perlintasan Rafah yang menghubungkan Gaza dan Mesir. Ini memberikan harapan baru bagi warga yang kelaparan dan kekurangan pasokan. Namun, kebutuhan lain seperti tempat tinggal, bahan bakar, dan pasokan medis masih sangat mendesak.
Dr. Mustafa Hanna dari Rumah Sakit Al Shifa mengungkapkan bahwa bantuan medis yang datang masih jauh dari mencukupi. “Kami berbicara tentang jumlah bantuan yang sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan besar untuk merawat pasien dan korban luka di Jalur Gaza, terutama di wilayah utara,” ujarnya. Beberapa fasilitas kesehatan, seperti Rumah Sakit Kamal Adwan, hingga kini masih belum dapat beroperasi, memperburuk situasi bagi warga yang membutuhkan perawatan medis.
Meski dihantui oleh keterbatasan dan ketidakpastian, semangat warga Gaza untuk bangkit tetap menyala. Mereka berjuang untuk bertahan, membangun kembali kehidupan dari nol, dan tetap menjaga harapan bahwa suatu hari, Gaza akan kembali berdiri lebih kuat. (RH)
