Polemik RKUHAP: Rahmadi G. Lentam: Tolak Dominasi Jaksa dalam Revisi KUHAP

HUKAM NASIONAL

Palangka Raya – Pembahasan mengenai revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) semakin viral di media sosial dan menjadi topik hangat dalam diskusi akademik, terutama di kalangan mahasiswa hukum serta para penegak hukum. Salah satu isu utama yang menjadi sorotan adalah rencana penerapan asas dominus litis yang berpotensi memberikan kewenangan besar kepada kejaksaan dalam mengendalikan seluruh proses hukum pidana di Indonesia.

Rahmadi G. Lentam, seorang advokat, menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap rencana ini. Menurutnya, sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari berbagai tradisi hukum, termasuk hukum Eropa Kontinental (civil law), hukum Anglo-Saxon (common law), hukum Islam, dan hukum adat. Seiring berjalannya waktu, sistem hukum ini mengalami perkembangan dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan hukum nasional. Namun, upaya pemberlakuan asas dominus litis yang terlalu luas dinilai dapat mengganggu keseimbangan sistem peradilan pidana.

“Dalam teori kekuasaan, jika terlalu menumpuk di satu tangan, maka cenderung disalahgunakan. Saat ini, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, jaksa memang sudah memiliki peran dalam pengendalian perkara di tingkat penuntutan, namun tidak secara total hingga ke tahap penyidikan,” ujar Rahmadi.

Menurutnya, saat ini jaksa sudah memiliki peran penting dalam proses pra-penuntutan, di mana mereka memberikan petunjuk kepada penyidik kepolisian untuk melengkapi berkas perkara. Jika asas dominus litis diberlakukan secara menyeluruh, jaksa akan memiliki kendali penuh mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, yang berpotensi menciptakan ketimpangan dalam sistem hukum.

“Jika seluruh tahapan perkara, dari penyelidikan hingga penuntutan, dikuasai oleh kejaksaan, maka kekuasaan mereka akan terlalu besar. Ini berpotensi mengganggu prinsip keseimbangan antar-lembaga penegak hukum. Selain itu, kejaksaan juga sudah memiliki banyak tugas lain, seperti bertindak sebagai pengacara negara dan menangani kasus pelanggaran HAM berat,” tambahnya.

Lebih lanjut, Rahmadi menekankan bahwa pembagian fungsi dalam sistem peradilan pidana harus tetap dijaga untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang. “Negara kita tidak menganut sistem kekuasaan yang hanya berada di satu tangan. Ada pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan dalam sistem peradilan, ada peran yang berbeda antara hakim, jaksa, advokat, dan kepolisian sebagai penyidik. Jangan sampai revisi KUHAP ini justru menambah persoalan dan merusak keseimbangan sistem yang sudah ada,” tegasnya.

Rahmadi berharap agar revisi KUHAP tetap mempertimbangkan prinsip keadilan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. “Jangan menambah kewenangan yang justru berpotensi membuat sistem hukum semakin rumit dan tidak seimbang. Cukuplah kejaksaan dengan kewenangan yang ada saat ini, tanpa perlu mengambil alih peran penyidikan secara total,” pungkasnya. (KN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *