“Gereja di Bawah Bayang Penindasan: Penangkapan Pendeta Zion Ungkap Wajah Baru Pengawasan Agama di China”

INTERNASIONAL SOSIAL BUDAYA

Oleh : Tessa Wong, Kelly Ng/BBC News Indonesia

PRADANAMEDIA – Grace Jin Drexel menerima pesan singkat dari ayahnya, Jin Mingri—pendeta terkemuka sekaligus pendiri Gereja Zion di Beijing. Dalam pesannya, Jin Mingri meminta agar putrinya mendoakan seorang pendeta lain yang mendadak hilang setelah melakukan kunjungan ke Shenzhen, China selatan. Tak lama berselang, Grace menerima telepon dari ibunya yang panik karena tak bisa menghubungi sang suami, baru-baru ini.

Beberapa jam kemudian, keluarga menyadari sesuatu yang jauh lebih serius terjadi. Jin Mingri rupanya turut menjadi bagian dari penangkapan besar-besaran terhadap para pemimpin dan jemaat gereja bawah tanah di China—operasi yang disebut para aktivis sebagai gelombang penindasan terbesar terhadap umat Kristen dalam beberapa dekade terakhir.

Penindasan Terbesar dalam Puluhan Tahun

Sedikitnya 30 umat Kristen yang terafiliasi dengan jaringan Gereja Zion dilaporkan ditangkap oleh otoritas China di berbagai kota besar, termasuk Beijing dan Shanghai. Para pengamat menilai, aksi ini menandai babak baru dalam tekanan negara terhadap gereja-gereja bawah tanah yang beroperasi di luar kendali resmi pemerintah.

Pengetatan ini muncul setelah diberlakukannya sejumlah kebijakan baru yang dianggap membatasi aktivitas keagamaan. Undang-undang tersebut mewajibkan setiap kegiatan ibadah publik mendapat izin pemerintah, serta memperketat pengawasan terhadap kegiatan daring para pemuka agama.

Meski China dipimpin oleh Partai Komunis yang menganut ideologi ateis, negara ini memiliki populasi umat Kristen yang signifikan—sekitar 38 juta Protestan dan enam juta Katolik. Namun, jumlah itu hanya mencakup mereka yang beribadah di gereja-gereja resmi di bawah Asosiasi Katolik Patriotik dan Gerakan Patriotik Tiga-Diri, lembaga yang menekankan kesetiaan terhadap negara.

Sementara itu, puluhan juta umat lainnya memilih beribadah di house church atau gereja bawah tanah yang menolak intervensi negara dalam urusan iman. Gereja-gereja inilah yang kini menjadi sasaran utama penindasan.

Akar Masalah: Sinisisasi Agama dan Kontrol Negara

Sejak 2016, Presiden Xi Jinping gencar menyerukan “sinisisasi agama”—yakni penyesuaian seluruh praktik keagamaan agar sejalan dengan nilai dan ideologi Partai Komunis. Gereja Zion yang didirikan Jin Mingri menjadi salah satu yang paling terdampak.

Setelah menolak memasang kamera CCTV di ruang ibadah pada 2018, gereja itu ditutup, dan Jin Mingri ditempatkan di bawah pengawasan ketat. Meski begitu, gereja tetap bertahan lewat sistem hibrida: ibadah daring dikombinasikan dengan pertemuan kecil di berbagai kota. Kini, jaringan Zion telah memiliki lebih dari 100 cabang di 40 kota di seluruh China, dengan lebih dari 10.000 pengikut.

Namun, sejak pertengahan tahun ini, tekanan kembali meningkat. Pada Mei 2025, Pendeta Gao Quanfu dari Gereja Light of Zion di Xi’an ditangkap dengan tuduhan “menggunakan takhayul untuk merusak hukum”. Sebulan kemudian, jemaat dari Gereja Linfen Golden Lampstand dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan penipuan—yang oleh para pegiat HAM dinilai sebagai tuduhan palsu.

Pada September, pemerintah bahkan mengeluarkan aturan baru yang mewajibkan lisensi khusus bagi pemuka agama yang ingin berkhotbah secara daring.

Operasi Serentak di 10 Kota

Dalam operasi besar-besaran pada Jumat dan Sabtu lalu, aparat China melakukan penangkapan di sedikitnya sepuluh kota. Surat resmi yang diperoleh BBC menyebutkan bahwa Jin Mingri kini ditahan di Penjara Nomor Dua Beihai, Guangxi, atas dugaan “penggunaan ilegal jaringan informasi”.

Beberapa anggota Gereja Zion yang ditangkap telah dibebaskan, namun sebagian besar masih mendekam di penjara yang sama. Corey Jackson, pendiri kelompok advokasi Kristen Luke Alliance, menyebut penangkapan kali ini sebagai “aksi terkoordinasi berskala nasional pertama dalam sejarah penindasan agama di China modern.”

“Ini tampaknya baru permulaan,” ujarnya. “Kami memperkirakan gereja-gereja bawah tanah lain akan menghadapi tindakan serupa.”

Reaksi Dunia dan Sikap Beijing

Kedutaan Besar China di London menegaskan bahwa warga negara China “menikmati kebebasan beragama sesuai hukum”, namun menekankan bahwa seluruh aktivitas keagamaan harus tunduk pada peraturan yang berlaku.

Sementara itu, pemerintah AS mengecam tindakan Beijing. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menilai penangkapan tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap kebebasan beragama. Sebagai respons, juru bicara Kementerian Luar Negeri China menuduh AS “campur tangan dalam urusan dalam negeri China dengan dalih isu agama.”

Jejak Iman Jin Mingri

Perjalanan hidup Jin Mingri, yang juga dikenal sebagai Ezra Jin, sarat dengan pergulatan spiritual dan politik. Lahir pada 1969 di Heilongjiang, ia awalnya adalah penganut setia ideologi negara. Namun, peristiwa berdarah Tiananmen 1989 mengubah keyakinannya.

“Sejak saat itu, ia kehilangan kepercayaannya pada negara,” ujar Grace Jin Drexel. “Itu menjadi titik balik dalam perjalanan imannya.”

Setelah menempuh studi teologi di AS, Jin kembali ke China pada 2007 untuk melayani jemaat. Ia mendirikan Gereja Zion sebagai ruang ibadah independen yang bebas dari kontrol negara.

Namun, kebebasan itu berharga mahal. Setelah gereja ditutup pada 2018, keluarga Jin harus berpisah: sebagian diasingkan, sebagian lainnya diawasi ketat. Kini, dengan penangkapan besar-besaran yang menyapu komunitas Zion, nasib sang pendeta dan ribuan jemaatnya kembali berada di ujung tanduk.

Meski begitu, Sean Long—pendeta Zion yang kini menetap di AS—menegaskan bahwa gereja tidak akan menyerah.

“Penindasan tidak pernah mematikan iman. Dalam sejarah gereja, setiap kali ada tekanan, selalu ada kebangkitan,” ujarnya. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *