PRADANAMEDIA / BEIJING — Sebuah jaringan kejahatan siber asal China dilaporkan berhasil mengantongi lebih dari 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 16 triliun melalui aksi penipuan digital berskala besar yang menargetkan warga Amerika Serikat (AS).
Modus yang digunakan dikenal dengan istilah smishing, gabungan antara SMS (short message service) dan phishing, di mana pelaku mengelabui korban melalui pesan teks palsu.
Menurut laporan Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS (Department of Homeland Security/DHS), aksi ini telah berlangsung selama tiga tahun terakhir. Penipuan melibatkan pesan teks palsu, biaya pemerintah fiktif, pencurian identitas, hingga penggunaan teknologi pembayaran digital lintas negara untuk menyamarkan aliran dana hasil kejahatan.

Para pelaku memanfaatkan metode “ternak SIM” untuk mengirim ribuan pesan palsu dari berbagai lokasi di AS.
“Satu orang dengan ternak SIM dapat mengirim pesan setara dengan 1.000 nomor telepon,” ujar Adam Parks, Asisten Agen Khusus di Homeland Security Investigations, dikutip The Independent, Rabu (15/10).
Pesan-pesan itu umumnya berisi peringatan palsu terkait denda atau tagihan pemerintah yang belum dibayar, lengkap dengan tautan ke situs tiruan. Melalui situs tersebut, pelaku dapat mencuri kata sandi, nomor kartu kredit, serta informasi rekening digital korban.
Data yang berhasil dicuri kemudian ditransfer ke dompet digital seperti Google Pay atau Apple Pay di Asia, sebelum ditautkan kembali ke perangkat korban di AS. Dengan data tersebut, sindikat membeli iPhone, kartu hadiah, dan barang berharga lainnya yang selanjutnya dikirim ke China.
Pejabat di sejumlah negara bagian seperti Florida, Massachusetts, Texas, Colorado, California, Minnesota, dan Washington DC telah mengeluarkan peringatan resmi.
“Warga sebaiknya mengabaikan pesan mencurigakan dan segera melaporkannya ke Federal Trade Commission (FTC),” kata Jaksa Agung Washington DC, Brian Schwalb, pada Mei lalu.
Kasus serupa juga menimpa sistem jalan tol E-ZPass di New York, yang kerap dijadikan kedok dalam pesan penipuan.
Jennifer Givner, juru bicara New York State Thruway Authority, mengaku kewalahan menghadapi lonjakan kasus ini.
“Kami tidak tahu siapa pelakunya. Penipuan ini terus muncul dan berubah setiap beberapa hari,” ujarnya kepada NBC News.
Menurut data FBI, hampir 60.000 warga AS melaporkan menjadi korban penipuan berbasis SMS pada tahun lalu. Peneliti yang dikutip The Wall Street Journal juga menemukan sekitar 330.000 pesan penipuan bertema tagihan tol terkirim hanya dalam satu hari pada bulan lalu — tiga kali lipat lebih banyak dibanding Januari 2024.
Kini, skema kejahatan ini semakin terorganisir. Beberapa kelompok bahkan menjual “paket siap pakai” untuk menjalankan penipuan serupa di platform Telegram, lengkap dengan skrip pesan, situs tiruan, dan panduan teknis.
Otoritas keamanan AS mengingatkan masyarakat untuk tidak mengklik tautan dari nomor asing serta memastikan situs yang digunakan benar-benar resmi, terutama jika berkaitan dengan transaksi pemerintah atau pembayaran digital.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kejahatan siber lintas negara kini menjadi ancaman global yang memanfaatkan celah keamanan digital dan lemahnya literasi masyarakat.
Para pakar menilai, kasus ini menjadi alarm bagi banyak negara, termasuk Indonesia, untuk memperkuat regulasi keamanan siber serta meningkatkan edukasi publik terhadap modus penipuan digital yang semakin canggih. (RH)

CYBER CRIME
