PRADANAMEDIA / JAKARTA – Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaeman Suryanegara, menyatakan bahwa pemerintah masih menanti keputusan Presiden Prabowo Subianto terkait payung hukum penyelesaian status 17.650 bidang tanah transmigrasi yang berada di dalam kawasan hutan.
Persoalan tersebut kembali mencuat dalam rapat Komisi V DPR RI bersama Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Selasa (16/9). Iftitah menegaskan, koordinasi sudah dilakukan dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, namun keputusan final tetap menunggu arahan Presiden melalui rapat terbatas.
“Tinggal menunggu rapat terbatas dengan Bapak Presiden agar diberikan payung hukum yang lebih tegas dan lebih tinggi,” ujar Iftitah saat kunjungan kerja di Tanjung Banon, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (25/9).

Menurutnya, solusi yang sedang dibahas adalah pelepasan bidang tanah transmigrasi dari status kawasan hutan. Mekanisme ini, kata dia, perlu melalui kajian mendalam agar tidak menimbulkan persoalan baru.
Sebagai contoh, Iftitah menyinggung kasus di Luwu, Sulawesi Selatan, di mana kawasan transmigrasi resmi dihuni sejak 1999 dan sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM). Namun, dua dekade kemudian, pada 2019, wilayah tersebut justru ditetapkan sebagai kawasan hutan.
“SHM-nya sudah ada sejak 1999. Maka, dalam kasus seperti ini seharusnya Kementerian Kehutanan melepaskan status kawasan hutannya,” tegas politikus Partai Demokrat tersebut.
Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, menambahkan bahwa persoalan serupa bukan hal kecil. Berdasarkan data, terdapat 2.966 desa berada di dalam kawasan hutan, 15.481 desa di tepi kawasan hutan, serta 17.650 bidang tanah transmigrasi yang statusnya tumpang tindih.
Masalah tumpang tindih kawasan ini berpotensi menimbulkan dampak serius. Petani desa, misalnya, bisa terancam pidana karena dituding menggarap lahan di kawasan hutan, meski faktanya lahan tersebut sudah lama menjadi wilayah transmigrasi.
Pemerintah dan DPR menekankan pentingnya sinkronisasi data antar-kementerian dan pemerintah daerah agar penyelesaian konflik lahan tidak berlarut-larut serta tidak merugikan masyarakat yang telah sah menempati lahan sejak lama. (RH)
