PRADANAMEDIA / BERLIN – Nama Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) mungkin belum begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia. Namun, bank pembangunan terbesar di dunia yang berbasis di Jerman ini memainkan peran besar dalam pendanaan proyek global—mulai dari pembangunan jalan di Afrika hingga penyediaan sistem air bersih di Asia.
Ironisnya, sebuah laporan terbaru justru menyoroti sisi gelap dari kiprah KfW. Laporan yang disusun oleh Koalisi untuk Hak Asasi Manusia dalam Pembangunan, gabungan organisasi masyarakat sipil termasuk kelompok pengawas asal Jerman Urgewald, mengungkapkan bahwa proyek-proyek KfW kerap menimbulkan masalah serius: penggusuran desa, pencemaran sungai, hingga represi terhadap masyarakat yang bersuara kritis.
Dengan slogan “Responsible Banking”, KfW mengelola miliaran euro dana publik Jerman. Karena itu, setiap kegagalan bukan hanya mencoreng reputasi, melainkan juga merugikan pembayar pajak.

Tuduhan terhadap KfW
Laporan tersebut menuding KfW melakukan praktik “perbankan tidak bertanggung jawab” yang berujung pada “kerugian tersembunyi”. Sejumlah proyek infrastruktur yang dibiayai, termasuk di Indonesia dan Meksiko, disebut menyebabkan penggusuran paksa masyarakat adat tanpa kompensasi memadai maupun keterlibatan warga lokal.
Proyek biomassa dan tenaga hidro di Eropa Timur dan Selatan juga dituding memperburuk polusi udara dan degradasi air, dengan minim transparansi. Menurut Marc Fodor, koordinator kampanye koalisi, KfW hanya menjadikan isu sosial dan lingkungan sebagai “tambahan kosmetik” dalam kesepakatan bisnis, tanpa memastikan persetujuan bebas dan diinformasikan dari masyarakat terdampak.
Flores Jadi Sorotan
Indonesia kembali masuk sorotan dalam laporan ini. Komunitas adat Poco Leok di Manggarai, Flores, disebut mengalami represi, intimidasi, hingga kekerasan fisik setelah menyuarakan penolakan terhadap ekspansi proyek panas bumi yang dibiayai KfW. Aparat gabungan—terdiri dari polisi, TNI, hingga Satpol PP—kerap dikerahkan untuk mengamankan proyek yang digarap bersama PLN dan pemerintah daerah.
Kondisi serupa juga terjadi di Kenya, di mana komunitas Maasai terpaksa dipindahkan dari tanah leluhur akibat proyek panas bumi. Fodor menilai rumah baru yang diberikan “tidak sesuai budaya” sehingga merusak ikatan sosial dan tradisi masyarakat.
Mekanisme Pengaduan Dipertanyakan
Selain menyoroti dampak proyek, laporan itu juga mengkritik mekanisme pengaduan KfW yang dinilai berbelit, tidak transparan, dan sulit diakses masyarakat. Dalam kasus di Uganda, misalnya, KfW bahkan sempat menyangkal keterlibatannya hingga dokumen resmi dengan logo bank terbukti menunjukkan sebaliknya.
“Masalahnya bukan hanya soal kurangnya konsultasi, tapi juga represi terhadap warga yang menolak,” ujar Fodor.
Seruan untuk Reformasi
Koalisi HAM mendesak KfW melakukan reformasi mendasar, bukan sekadar perbaikan prosedur. Mereka menuntut pembentukan mekanisme akuntabilitas independen, transparansi penuh atas dokumen proyek, serta konsultasi bermakna dengan masyarakat sebelum pendanaan diberikan.
Sebagai perbandingan, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menerapkan publikasi daring untuk penilaian sosial-lingkungan, sementara Bank Investasi Eropa (EIB) memiliki kantor pengaduan semi-independen. KfW dinilai tertinggal jauh karena masih mengandalkan mekanisme mitra proyek.
Tanggapan KfW
Dalam pernyataannya, KfW membela diri dengan menegaskan bahwa semua pembiayaan internasionalnya telah tunduk pada pedoman keberlanjutan dan standar global, termasuk standar Bank Dunia, IFC, serta Prinsip Ekuator. Bank ini juga mengklaim mempekerjakan lebih dari 50 pakar untuk menilai risiko sosial dan lingkungan, serta menolak proyek dengan risiko tidak dapat diterima.
“Kami selalu memastikan komunitas terdampak dilibatkan dalam proses, dan jika risiko dinilai terlalu besar, pembiayaan tidak diberikan,” demikian pernyataan resmi KfW. (RH)
