68 Tahun Kalimantan Tengah: Dari Perjuangan Mandau Talawang hingga Kota Harapan Bung Karno

LOKAL SOSIAL BUDAYA

**PRADANAMEDIA/ PALANGKA RAYA – Setiap tanggal 23 Mei, masyarakat Kalimantan Tengah memperingati hari bersejarah kelahiran provinsi mereka. Tahun ini, Provinsi Bumi Tambun Bungai genap berusia 68 tahun sejak disahkannya Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, yang menetapkan Kalimantan Tengah sebagai provinsi tersendiri di Indonesia.

Pembentukan provinsi ini bukanlah pemberian instan dari pemerintah pusat, melainkan buah dari perjuangan panjang masyarakat Dayak yang mendambakan otonomi dan pengakuan identitas kedaerahan. Perjalanan panjang menuju status provinsi ditempuh melalui jalan diplomasi, organisasi rakyat, hingga aksi massa, yang akhirnya menggugah perhatian Presiden Soekarno dan tokoh nasional asal Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut.

Menurut Yusri Darmadi, S.S., Pamong Budaya Ahli Muda dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII (Kalteng-Kalsel), semangat perjuangan untuk berdiri sendiri telah muncul bahkan sebelum Indonesia merdeka. Ia mencontohkan keberadaan pemukiman tua seperti Kampung Pahandut yang dipimpin oleh Pembakal Ngabe Soekah. Lebih jauh lagi, pada tahun 1940, seorang bangsawan bernama RAA Syiono telah mengusulkan otonomi bagi Tanah Dayak kepada Komisi Visman di masa kolonial Belanda—meski usulan itu tidak mendapat tanggapan.

Pasca kemerdekaan, Kalimantan dibagi dalam tiga keresidenan: Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Kalimantan Tengah belum dianggap sebagai entitas tersendiri, meski aspirasi untuk berdiri sendiri terus menguat, terutama dari masyarakat Kapuas, Barito, dan Kotawaringin.

Puncak perjuangan datang pada awal 1950-an. Berbagai organisasi rakyat seperti Serikat Keharingan Dayak Indonesia (SKDI) mendukung pembentukan Panitia Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah (PPRKT) pada tahun 1954, yang diketuai oleh JM Nahan. Namun, diplomasi sempat mengalami kebuntuan. Rakyat akhirnya menyuarakan kehendaknya lewat Gerakan Mandau Talawang Pancasila Sakti (GMTS), yang menimbulkan gejolak dan menarik perhatian pemerintah pusat.

Presiden Soekarno, yang awalnya menerima laporan miring tentang gerakan ini, mengalami perubahan pandangan setelah bertemu langsung dengan Tjilik Riwut. Dalam kutipan dari buku Sanaman Lampang Besi Mengambang karya Nila Riwut, diceritakan bagaimana Bung Karno membanting berkas laporan yang menyebut Tjilik Riwut sebagai pemimpin makar. Namun, setelah dialog emosional, Soekarno menyatakan kepercayaannya kepada Tjilik. “Saya lebih percaya kepada Anda, Tjilik Riwut,” ujar Presiden dengan penuh keyakinan. Tjilik pun menjawab tegas, “Terima kasih, kepercayaan itu akan saya buktikan.”

Tak lama kemudian, pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang Darurat No. 10 Tahun 1957, yang meresmikan Kalimantan Tengah sebagai provinsi baru, dengan Pahandut sebagai ibu kota, yang kemudian berkembang menjadi Palangka Raya. Pada 17 Juli 1957, Bung Karno sendiri meresmikan ibu kota baru itu dengan memancang tiang pertama pembangunan Palangka Raya.

“Palangka Raya menjadi satu-satunya ibu kota provinsi yang dibangun sepenuhnya oleh bangsa sendiri, bukan peninggalan kolonial,” tegas Yusri. Ia menambahkan bahwa semangat anti-kolonialisme yang begitu kuat mendorong Bung Karno untuk menciptakan ibu kota baru dari nol, sebagai simbol kemandirian bangsa.

Lebih dari sekadar simbol, Yusri menyebut bahwa wacana menjadikan Palangka Raya sebagai ibu kota negara masih sangat relevan hingga kini. Dari sisi historis, geografis, hingga geologis, Palangka Raya dinilai lebih aman dari bencana besar. “Kita tidak mulai dari nol. Perencanaan kota ini sudah disusun sejak era Presiden Soekarno oleh Van Der Pijl,” ujarnya.

Pembentukan Kalimantan Tengah juga bertujuan mempercepat pelayanan publik. Yusri mencontohkan, sebelum ada provinsi tersendiri, warga Lamandau harus menempuh perjalanan hingga 16 jam ke Banjarmasin untuk mengurus administrasi pemerintahan.

Dalam Kongres Rakyat Kalimantan Tengah di Banjarmasin pada 2–5 Desember 1956, para utusan rakyat menyatakan ikrar perjuangan:

IKRAR BERSAMA

  1. Bersatu tekad menyelesaikan perjuangan pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah secepat-cepatnya.
  2. Bersatu tekad mengangkat derajat hidup rakyat Kalimantan Tengah dan Indonesia umumnya.

Ikrar itu akhirnya terwujud pada 23 Mei 1957, ketika Kalimantan Tengah resmi menjadi provinsi baru dengan ibu kota Palangka Raya. Status ini kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959.

Kini, setelah 68 tahun berlalu, semangat dan nilai-nilai perjuangan rakyat Kalimantan Tengah tetap menjadi warisan sejarah yang tak ternilai. Seperti pesan Bung Karno yang terus relevan hingga hari ini:

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *